Rabu, 11 April 2012

Aliran Filsafat Rekontruksionisme







BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Kehidupan di dunia memang tidak akan pernah lepas dari suatu masalah, karena pada hakekatnya Tuhan menciptakan makhluk-Nya dengan berbagai masalah yang ada, supaya manusia yang dikaruniai akal dan berbagai potensinya dapat berusaha untuk memikirkan solusi dari permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi. Dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka manusia harus mampu untuk menemukan sebuah formula khusus yang dapat menjadi obat bagi penyakit-penyakit, yaitu adanya berbagai krisis dunia yang semakin parah keadaannya.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan sebuah formula yang memiliki fungsi untuk dapat mengubah dunia menjadi dunia yang benar-benar semakin berperadaban, karena inti dari sebuah pendidikan adalah proses pengubahan dari yang sebelumnya belum baik menjadi baik, dan yang sebelumnya sudah baik menjadi semakin baik lagi. Pendidikan bukan hanya sekedar pentransferan pengetahuan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Pendidikan adalah upaya menyusun kembali komponen-komponen pendukung dari kognisi manusia, afeksi manusia, maupun psikomotor manusia secara seimbang. Di dalam pendidikan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan, sebab jika dipisahkan, akan terjadi sebuah ketimpangan bagi peserta didik nantinya, terutama saat terjun langsung dalam masyarakat.
Menilik dari pentingnya peran pendidikan, maka seharusnya pendidikan mampu dijadikan sebagai perombak sistem kehidupan masyarakat untuk dapat menjadi manusia yang semakin berkemajuan. Akan tetapi, pada kenyataannya pendidikan pada abad-abad terakhir ini tidak lagi dapat dijadikan sebagai perombak bagi kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik. Yang ada justru fenomena sebaliknya, manusia yang dalam proses belajarnya lebih banyak ditekankan pada kemampuan kognisi, akhirnya justru diperbudak oleh pendidikan itu yang akhirnya hanya ditujukan untuk memperoleh pekerjaan yang berujung pada uang, bukan perolehan pengetahuan dan pemahaman. Dari proses pembelajaran, yang diharapkan hanya sekedar ijazah. Itulah dampak termiris dari kapitalisasi yang mengakibatkan setiap manusia saling bersaing untuk menjadi yang terkuat. Ibarat kata pada saat ini adalah “yang beruang adalah pemenang”. Hidup, khususnya pendidikan telah diselenggarakan dengan cara dan pemikiran yang salah. Pendidikan yang ada selama ini bukannya menunjukkan sebuah perkembangan yang baik, akan tetapi justru sebaliknya menjadi bertambah buruk. Dunia bahkan mengalami sesuatu yang disebut dengan situasi krisis yang sekarat.[1] Virus kapitalisasi sungguh telah menjangkiti setiap jiwa manusia. Dari situlah, maka timbullah berbagai krisis, baik krisis yang terjadi di negara sendiri, yaitu Indonesia, hingga krisis dunia yang semakin tidak terkendalikan.
Krisis dunia itu sendiri sebenarnya pernah dialami jauh puluhan tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1930-an. Dilatarbelangi dengan adanya krisis yang terjadi pada tahun 1930-an silam, seorang tokoh yang bernama George Count dan Harold mempelopori munculnya sebuah aliran yang berusaha menyikapi krisis dunia pada waktu itu, yaitu aliran rekonstruksionisme. Aliran rekonstruksionisme berusaha untuk melakukan sebuah perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Mereka bermaksud ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil.[2]
Aliran rekonstruksionisme merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang berawal dari adanya krisis kebudayaan modern. Aliran rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan manusia. (Depag RI, 1984: 31). Dalam upaya pencapaian tujuannya tersebut, maka rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia supaya dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru.[3]
Dalam dunia pendidikan, yang tengah menjadi sebuah permasalahan paling rumit saat ini adalah pemahaman dari makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang memiliki makna perubahan manusia menjadi lebih baik telah beralih wujud menjadi sebuah sistem yang senantiasa menyuguhkan materi-materi dengan berbagai kompetensi yang dituntut untuk dituntaskan pembelajarannya, tanpa adanya sebuah pemaknaan khusus akan manfaat dan hikmah dari setiap ilmu yang diajarkan. Dengan pemaknaan pendidikan yang demikian, maka output-output yang ada hanya akan menjadi seseorang yang diibaratkan sebuah robot yang dikendalikan oleh mesin-mesin, yang siap diperbudak oleh tuannya yaitu berupa hawa nafsu. Hal tersebut mengakibatkan manusia kini menjadi kehilangan jiwa sosial mereka. Maka, diambil dari pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam pendidikan ini adalah sebagai upaya untuk merombak sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional, dengan tujuan agar para peserta didik dalam menuntut ilmu kelak akan menjadi kaum intelektual yang dapat mengembangkan peradaban dunia menjadi dunia yang semakin berkemajuan dan juga beradab, sehingga dunia akan dapat bangkit dari keterpurukan akibat krisis yang berkepanjangan, terutama krisis moral yang menjadi faktor utama dari krisis-krisis yang lainnya.

RUMUSAN MASALAH
            Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di muka, maka diambil topik pembahasan yang dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme?
  2. Bagaimana prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme?
  3. Bagaimana teori pendidikan dalam rekonstruksionisme?
  4. Bagaimana implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah Pendidikan?
TUJUAN PEMBAHASAN
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah munculnya aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
  2. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan.
  3. Untuk mengetahui teori pendidikan dalam rekonstruksionisme.
  4. Untuk mengetahui implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah pendidikan.
           
MANFAAT PEMBAHASAN
Dengan dibahasnya makalah tentang aliran rekonstruksionisme, maka akan menambah pengetahuan tentang aliran rekonstruksionisme dalam filsafat pendidikan bagi para pembaca, dan bagi penulis sendiri khususnya, sehingga akan didapatkan pengetahuan baru tentang implikasi aliran rekonstruksionisme dalam pemecahan masalah penidikan, serta upaya perombakan tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.











BABPEMBAHASAN

A.           PENGERTIAN DAN SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN REKONSTRUKSIONISME
1.             Pengertian Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct, yaitu gabungan dari kata re-  yang artinya kembali dan construct yang artinya membangun atau menyusun. Maka, secara etimologis reconstruct diartikan menyusun kembali. Sedangkan, dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[4] Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme banyak yang sepaham dengan aliran perenialisme, yang dikhususkan kepada keprihatinan para rekonstruksionis terhadap kehidupan manusia modern atau dengan kata lain menyebutkan adanya krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut berpandangan bahwa kehidupan manusia modern telah banyak mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Bedanya kedua aliran ini, jika aliran perenialisme berpandangan bahwa kebobrokan kehidupan manusia modern dapat diatasi dengan cara kembali ke dalam kehidupan yang masih menjunjung tinggi kebudayaan dan peradaban masa lampau, karena kaum perenialis berpandangan bahwa pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah sebagai pengulangan dari apa yang ada dalam masa sebelumnya, sehingga perenialisme sering disebut juga dengan istilah tradisionalisme. Sementara itu aliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
2.             Latar Belakang Kemunculan Aliran Filsafat Rekonstruksionisme
Jauh pada tahun 1930-an, dunia mengalami krisis yang sangat hebat, yaitu krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian dunia. Sistem ekonomi kapitalis telah meningkatkan sikap egosentris masyarakat dunia. Masa krisis dunia bukan hanya terjadi pada era modern seperti saat ini, yang tengah gencarnya menghantui setiap penjuru dunia. Terutama yang cukup menghebohkan para penghuni bumi adalah krisis ekonomi yang tidak hentinya terus merongrong perekonomian dunia. Tidak ubahnya dengan sebuah politik, dalam ekonomi kapitalis tidak lagi mengenal siapa teman sejati dan siapa musuh yang sejati. Sistem kapitalis telah menumbuhkan sikap kesombongan negara-negara yang merasa memiliki sistem perekonomian di atas atau yang disebut dengan negara-negara maju. Kesombongan-kesombongan itu antara lain adalah kesombongan sikap dari sebuah negara yang notabene dianggap sebagai polisi dunia  yaitu Amerika Serikat. Amerika merasa sanggup hidup dengan perekonomian sendiri, hingga akhirnya defisit perdagangan Amerika mulai terasa sejak menjadi elemen penting ekonomi dunia pada awal abad ke-17. Antara tahun 1990 sampai tahun 2000 defisit perdagangan Amerika dari 100 miliar naik menjadi 450 miliar.[5] Krisis yang terjadi di Amerika tersebut secara otomatis juga telah menjadi krisis bagi dunia. Sedangkan krisis yang terjadi pada tahun 1930-an pada saat itu juga merupakan sebuah krisis ekonomi dunia yang menyebabkan terjadinya depresi dunia yang menyebabkan lumpuhnya bangsa-bangsa kapitalis secara ekonomi. Adanya krisis ini akhirnya berdampak pula kepada pendidikan. Krisis inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran rekonstruksionisme yang bertujuan untuk dapat berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Dari pengertian tetang rekonstruksionisme, maka untuk dapat mencapai tujuannya, aliran rekonstruksionisme berusaha mencari sebuah formula yang dapat dijadikan sebagai perombak tata susunan pendidikan yang lama dengan tata susunan pendidikan yang baru dengan berbagai ketentuan dan peraturan yang benar-benar dapat mengatasi krisis kehidupan modern pada abad ke-21 saat ini.
Dari jalan pikiran dan upaya yang berusaha ditempuh oleh aliran rekonstruksionisme ini, maka dapat dilihat bahwa prinsip pemikiran aliran rekonstruksionisme tidak terlepas dari paham perenialisme yang menunjukkan keprihatinannya terhadap kehidupan dunia modern, selain itu juga tidak terlepas dari prinsip pemikiran aliran progresifisme yang mengarah kepada tuntutan kehidupan modern. Usaha rekonstruksionisme sosial yang diupayakan Brammeld didasarkan atas suatu asumsi bahwa kita telah beralih dari masyarakat agraris pedesaan kemasyarakat urban yang berteknologi tinggi namun masih terdapat suatu kelambatan budaya yang serius yaitu dalam kemampuan manusia menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru.[6] Menurut aliran rekonstruksionisme, kehidupan modern yang telah mengubah kehidupan agraris menjadi kehidupan teknologi telah banyak meninggalkan kebudayaan-kebudayaan sehingga terdapat suatu kelambatan budaya yang serius yaitu dalam kemampuan manusia menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme merupakan reaksi dan kelanjutan dari gerakan progresivme, gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Selain itu, keprihatinan oleh kaum rekonstruksionis sepaham dengan para kaum perenialis yaitu yang menyetakan bahwa kehidupan modern saat ini telah mengalami kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka.
3.             Tokoh-tokoh Aliran Rekonstruksionisme
a.         George Count

b.        Caroline Pratt

c.         Harold Rugg

B.            PRINSIP-PRINSIP PEMIKIRAN DALAM ALIRAN REKONSTRUKSIONISME
1.      Masyarakat dunia sedang dalam kondisi krisis, jika praktik-praktik yang ada sekarang tidak dibalik (diubah secara mendasar), maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran.
Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, prolefirasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan pengunaan teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab telah mengancam dunia kita sekarang dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi sesegera mungkin. Persoalan-persoalan tadi, menurut kalangan rekonstruksionis, berjalan seiring dengan tantangan totalitarianisme modern, (yakni) hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya ‘kedunguan’ fungsional penduduk dunia. Singkatnya, dunia sedang menghadapi persoalan-persoalan sosial, militer dan ekonomi pada skala yang tak terbayangkan. Persoalan-persoalan yang dihadapi itu sudah sedemikian beratnya sehingga tidak bisa lagi diabaikan.
2.      Solusi efektif satu-satunya persoalan-persoalan dunia kita adalah penciptaan tatanan sosial yang menjagat.
Mengingat persoalan-persoalannya bersifat mendunia, maka solusinyapun harus demikian. Kerjasama menyeluruh dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem nilai dan mentalis politik yang dianut di era kuda dan andong.
Menurut rekonstruksionisme, umat manusia sekarang hidup dalam masyarakat dunia yang mana kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang. Dalam masyarakat ini, sangat mungkin muncul ‘pengkhayalan’ karena komunitas internasional secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan material menuju ketingkat di mana kebutuhan an kepentingan manusia dianggap paling penting. Dalam dunia semacam itu, orang-orang lalu berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
3.      Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial.
Sekolah-sekolah yang mereflesikan nilai-nilai sosial dominan, tutur rekonstruksionis, hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah uegen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.
Kritik-kritik rekonstruksi sosial menandakan bahwa Bramejd dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru dan pendidik lainnya untuk bertindak sebagai intrumen utama perubahan sosial. Komentar kalangan rekonstruksionis bahwa satu-satunya alternatif bagi rekonstruksi sosial adalah kekacauan global dan kemusnahan menyeluruh peradaban dunia. Dari perspektif mereka, pendidikan dapat menjadi instrumen untuk mengaburkan tuntutan mendesak transformasi sosial dan kemudian merintangi perubahan, atau instrumen untuk membentuk kenyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan.
Kalangan rekonstruksionis (di satu sisi) tidak memandang sekolah sebagai memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosil seorang diri. Di sisi lain, mereka melihat sekolah sebagai agen kekuatan utamayang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia ‘menyantuni’ anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan sosial.
4.      Metode-metode pengajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratisn yang bertumpu pada kecerdasan ‘asali’ jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang paling valid bagi persoalan-persoalan umat manusia.
Kalangan rekonstruksionis, seperti aliran-aliran gerakan progresif lainnya, tidaklah tunggal dalam pandangan mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik terbaik. Dari perspektif mereka, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
Brameld menggunakan istilah “pemilihan deferensif” untuk mengungkapkan posisi (pendapat)guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yang kontroversial. Dalam menyingkapi hal ini, guru memperbolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dan yang tidak setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan pendapat-pendapat altrnatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mau mengungkapkan dan mempertahankan pemihakan secara publik. Di luar ini, guru harus berupaya agar pendirian-pendiriannya diterima dalam skala seluas mungkin. Tampaknya telah diasumsikan oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu sedemikian clear-cut (jelas-tegas) sehingga sebagian besar akan setuju terhadap persoalan-persoalan dan solusi-solusi jika dialog bebas dan demokratis diizinkan. Beberapa pengamat memberikan catatan bahwa rekonstruksionisme mempunyai kepercayaan besar terhadap kecerdasan dan kemauan baik manusia-sesuatu yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai sebuah kepercayaan utopis.
5.      Jika pendidikan formal adlah bagian tidak terpisahkan dari solusi sosial dalam krisis dunia sekarang, maka ia harus secara aktif mengajarkan perubahan sosial.
Pendidikan harus memunculkan kesadaran peserta didik akan persoalan-persoalan sosial dan mendorong mereka untuk secara aktif memberiakn solusi. Kesadaran sosial kiranya dapat ditumbuhkan jika peserta didik dibuat berani untuk mempertanyakan status quo dan untuk mengkaji isu-isu kontroversial dalam agam, masyarakat, ekonomi, politik dan pendidikan. Kajian dan diskusi kritis akan membantu peserta didik melihat ketidakadilan dan ketidakfungsian beberapa aspek sistem sekarang ini dan akan membantu mereka mengembangkan alternatif-alternatif bagi kebijaksanaan konvensional.
Ilmu-ilmu sosial, semisal antropologi, ekonomi, sosiologi, sain politik, dan psikologi merupakan landasan kurikuler yang amat membantu kalangan rekonstruksionis untuk mengidentifikasi lingkup persoalan utama kontroversi, konflik dan inkonsistensi. Peran pendidikan adalah mengungkapkan lingkup persoalan budaya manusia dan membangun kesepakatan seluas mungkin tujuan-tujuan pokok yang akan menata umat menusia dalam tatanan budaya dunia. Masyarakat dunia yang ideal, menurut rekonstrusionisme, haruslah “berada dibawah kontrol mayoritas warga masyarakat yang secara benar menguasai dan menentukan  nasib mereka sendiri”.
a.             Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti hewan dan tumbuhan atau benda lain disekeliling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu system, selain substansi yang dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensilitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa setiap relita memiliki perpektif tersendiri.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, yang menurut Bakry (1986: 51), aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sama azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidah sulit menerima atas prinsip dulisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir  dapat segera ditangkap oleh panca indra manusia, sementara itu kenyataan batin segera diakui dengan adanya akal dan perasaan hidup. Dibalik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini ialah tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekali sunyi dan substansi.
Menurut syam (1985: 304), alam pemikiran yang demikian bertolak dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi paa abad IX-XIV, mmberikan argmentasi rasio tentang eksistensi tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama sholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aqiunes yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang harus berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
b.             Pandangan Epistimologi
Kajian epistimologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perennialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksestensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksitensi tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan kearah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (conclution), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
Pandangan ilmu dan filsafat tetap diakui urgensinya, dikarenakan analisa empiris dan analisa ontologism keduanya dapat dianggap komplementif, tetapi filsafat tetap dapat berdiri sendiri dan ditentukan oleh hukum-hukum dalam filsafat itu sediri tanpa bergantung pada ilmu pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang kea rah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafat lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
c.              Pandangan Ontologis
Dalam proses interaksi sesame manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi secara umum ruang lingkup (scope) tentang pengertian “nilai” tidak terbatas.
Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan tuhan, kemudian berfikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya adalah tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moal, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebajiakan intelektual.
C.           TEORI PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:[7]
1)             Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2)             Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3)             Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
4)             Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5)             Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal. Meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.

D.           IMPLIKASI ALIRAN FILSAFAT REKONSTRUKSIONISME DALAM PEMECAHAN MASALAH PENDIDIKAN
Aliran rekonstruksionisme melihat adanya krisis atau masalah yang sangat kronis dan mengakhawatirkan terutama dalam persoalan pendidian dalam dunia modern saat ini. Pendidikan pada masa modern telah banyak mengalami pergeseran makna. Pergeseran makna tersebut telah menimbulkan kehidupan modern yang penuh dengan kebobrokan, kerusakan, kebingungan, dan tidak menentunya prinsip manusia, sehingga manusia modern sudah banyak kehilangan jati diri mereka. Pendidikan pada dunia modern telah banyak terjebak dalam
1.             Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Sistem Pendidikan
Rekonstruksionisme sebagai perombak sistem pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari tujuan pendidikan, metode pendidikan, dan kurikulum pendidikan.

a.             Tinjauan dari Tujuan Pendidikan
Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.             Tinjauan dari Metode Pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.
c.              Tinjauan dari Kurikulum Pendidikan
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri, dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.

2.             Rekonstruksionisme Sebagai Perombak Struktur Susunan dalam Pendidikan
Selain rekonstruksionisme sebagai perombak siistem pendidikan, rekonstruksionisme juga dapat dijadikan sebagai perombak struktur susunan dalam pendidikan yang dapat diklasifikasi dalam beberapa tinjauan pokok, antara lain sebagai perombak sistem pendidikan yang ditinjau dari peran peserta didik dan peran pendidik dalam kegiatan.
a.             Peserta Didik
Siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
b.             Pendidik
Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.


  
DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2010. Filsafat Pendidikan :Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Todd, Emmanuel. 2007. Menjelang Keruntuhan Amerika. Bekasi Timur: Menara.



[1] Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 191.
[2] Jalaluddin & Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat, dan Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 118.
[3] Ibid, hlm. 119..

[4] Teguh Wongso Gandhi H. W., Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan), (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 189.
[5] Emmanuel Todd, Menjelang Keruntuhan Amerika, (Bekasi Timur: Menara, 2007), hlm. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar