Rabu, 11 April 2012

Pendidikan era Abbasiyah





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana yang berpengaruh dan penting bagi manusia, melalui pendidikan manusia bisa belajar mempelajari alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting dan tinggi.
Pentingnya pendidikan bagi manusia dapat kita ketahui dari sejarahnya. Pendidikan Islam mulai berkembang sejak masa Rasulullah, masa Khulafaur Rasyidin, masa Bani Ummayah, masa Bani Abbasiyah, hingga masa sekarang ini. Sejarah pendidikan Islam sangat erat kaitannnya dengan sejarah umat Islam, karena proses pendidikan Islam berlangsung sepanjang sejarah Islam, dan berkembang sejalan dengan keadaan sosial umat Islam itu sendiri. Melalui sejarah Islam, umat Islam bisa meneladani model-model pendidikan Islam di masa lalu, sejak periode Nabi Muhammad SAW, sahabat dan ulama-ulama sesudahnya. Para ahli sejarah menyebut bahwa sebelum muncul sekolah dan universitas, sebagai lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sesungguhnya sudah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal, diantaranya adalah masjid. Islam mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada saat itu, mayoritas umat muslim sudah bisa membaca dan menulis dan dapat memahami isi dan kandungan al-Quran dengan baik.
Pada masa Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang pesat di seluruh negara Islam hingga lahir madrasah-madrasah yang tidak terhitung banyaknya. Dalam mencapai tujuan pendidikan maka diperlukannlah metode, sistem dan materi pendidikan yang digunakan, umakalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai metode, sistem, serta materi pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah, serta sistem pendidikan pada masa Abbasiyah seperti apa yang dapat dijadikan sebagai referensi terhadap pendidikan di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah singkat berdirinya Dinasti Abbasiyah?
2.      Bagaimana sistem pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah?
3.      Bagaimana rekonstruksi terhadap pendidikan di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya Daulah Abbasiyah didirikan atas dua strategi, yaitu yang pertama dengan sistem mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertengahan hijriah yang dipusatkan di Al-Hamimah, kedua dengan terang-terangan dan himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan Daulah Abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan Daulah Abbasiyah.[1]
 Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abbdullah al-Abbas. Selama Dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sasuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pada masa-masa tersebut. Dinasti Abbasiyah memiliki rentang waktu sekitar lima abad, terhitung 132 H/750 M sampai dengan 656 H/125 M. Para sejarawan membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah menjadi lima priode:
1.      Priode I (132H/750M-232H/847M) disebut priode pengaruh Persia pertama.
2.      Priode II (232H/847M-334H/945M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3.      Priode III (334H/945M-447H/1055M), masa kekuasaan Dinasti Buwaih, pengaruh Persia kedua.
4.      Priode keempat (447H/1055M-590H/1194M), masa Bani Saljuk, pengarruh Turki kedua.
5.      Priode kelima (590H/1194M-656H/1258M), masa khalifah bebasa dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaan pada periode I. Para khalifah pada periode I dikenal tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat yang tinggi. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813 M-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan puteranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, dan kebudayaan. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Sistem politik yang dijalankan yaitu para khalifah tetap dari keturunan Arab murni, kota Baghdad sebagai ibu kota negara dan menjadi pusat kegiatan politik. Dalam pemerintahan bani Abbasiyah ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat penting, selain itu kebebasan berfikir sebagai HAM diakui penuh, dan para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan.
B.     Sistem Pendidikan pada Masa Dinasti Abbasiyah
Masa keemasan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Baghdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M). Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjalani keilmuan dan dengan karya-karyanya. Mulai dari aliran fiqih, tafsir, ilmu hadis, teologi, filsafat sampai dengan bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai ilmu kedokteran. Dari masa keemasan ini lembaga pendidikan mulai maju, sistem pendidikannya antara lain yaitu;
1.      Lembaga pendidikan
Dalam pendidikan Islam sebelum muncul lembaga pendidikan formal (sekolah dan universitas) sebenarnya telah berkembang lembaga pendidikan Islam yang nonformal. Salah satu dari lembaga pendidikan nonformal yaitu Kuttab atau Maktab. Kutab dan Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Kuttab adalah tempat belajar menulis.[2]  Pada awalnya Kuttab berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran menulis dan membaca bagi anak-anak. Kuttab bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru. Seiring dengan perkembangan minat untuk belajar Kutab menjadi tidak memadai untuk menampung anak-anak, sehingga mendorong para guru dan orang tua mencari tempat lain yang lebih lapang yaitu sudut-sudut masjid. Selain itu ada pula Kutab-kutab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid.
Akhir abad pertama Hijriah mulai timbul jenis Kuttab yang selain mengajarkan manulis dan membaca juga mengajarkan membaca Al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama, serta mengajarkan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Sehingga dengan demikian Kuttab berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal.
Waktu belajar di Kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Assar, mulai hari Sabtu sampai hari Kamis, sedangkan hari Jumat merupakan hari libur. Pembagian waktu bagi mata pelajaran tiap-tiap harinya, biasanya dibagi menjadi tiga yaitu;
a.       Pagi hari samapai Dhuha pelajaran Al-Qur’an
b.      Dari waktu Dhuha sampai Zuhur, pelajaran menulis
c.       Setelah Zuhur sampai Asar, pelajaran ilmu lain (nahwu, bahasa Arab, sya’ir, berhitung, riwayat, atau tarikh)
Pendidikan tingkat dasar  Islam selain diajarkan di Kuttab-kuttab juga diberikan di istana untuk anak-anak pejabat, karena atas dasar pemikiran bahwa pendidikan mampu menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya, setelah dewasa nanti. Corak pendidikan di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di Kuttab-kuttab, pada umumnya di istana para orang tua yang membuat rencana pelajaran selaras dengan anaknya dan tujuan yang ingin dicapai orang tuanya.
Menurut Hasan ‘Abd al-‘Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha, dalam tesisnya menyebutkan ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada masa Abbasiyah terutama pada abad keempat Hijriah.[3] Ketujuh lembaga pendidikan tersebut yaitu
a.       Lembaga pendidikan dasar (al-Kuttab)
b.      Lembaga pendidikan masjid (al-Masjid); semenjak berdirinya di zaman Rasulullah masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslim. Namun lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan, sebagai lembaga pendidikan masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan penyampaiaan doktrin ajaran islam.
c.       Kedai pedagang kitab (al-Hawanit al-warraqin); toko buku memiliki peran penting dalam kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya toko buku hanya menjual buku-buku, namun lama-lama sebagai sarana untuk berdiskusi, berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dilakukan.
d.      Tempat tinggal para sarjana (manazil al-‘ulama)
e.       Sanggar seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah)
f.       Perpustakaan (dar al-kutub wa dar al’alim); perpustakan memiliki peran yang penting dalam kegiatan transmisi keilmuan islam. Penguasa-penguaa mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi didirikan di istan atau orang kaya saja.
g.      Lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah)
2.      Metode pendidikan atau pengajaran
Pada masa Dinasti Abbasiyah metode pendidikan atau pengajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu lisan, hafalan, dan tulisan.[4]
a.       Metode lisan; berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan diskusi. Metode dikte (imla) merupakan metode penyampaian pengetahuan yang baik dan aman karena dengan metode imla murid dapat menggunakan catatannya ketika ia lupa. Metode ceramah disebut juga metode al-sama’ yaitu metode ceramah dimana guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkannya. Metode qira’ah digunakan pada saat belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
b.      Metode menghafal; merupakan ciri dari pendidikan pada masa ini. Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka. Sehingga pada saat diskusi atau perdebatan murid-murid dapat merespon atau memunculkan pendapatnya.
c.       Metode tulisan; merupakan metode yang paling penting pada masa ini. Metode ini adalah pengkopian karya-karya ulama, metode ini berguna karena dapat menggandakan jumlah buku teks, karena pada saat itu belum ada mesin cetak, sehingga dengan adanya pengkopian tersebut dapat membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
3.      Materi pendidikan
Materi pendidikan dasar pada masa Daulah Abbasiyah terlihat unsur demokrasi, karena di samping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid juga ada materi yang bersifat pilihan (ikhtiari). Adapun penjabaran dari meteri pendidikan pada masa Abbasiyah sebagai berikut;
Materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) ialah:
a.       Al-Qur’an
b.      Shalat
c.       Do’a
d.      Pokok-pokok pembelajaran ilmu nahwu dan bahasa Arab
e.       Membaca dan menulis
Materi pelajaran yang bersifat pilihan (ikhtiari) ialah:
a.       Berhitung
b.      Ilmu nahwu dan bahasa Arab secara menditail dan tuntas.
c.       Syair-syair
d.      Riwayat atau Tarikh Arab
4.      Metode mengajar
Metode pengajaran yang diberikan pada masa Abbasiyah yaitu pengajaran diberikan kepada murid-murid seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas, sehingga guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti. Mereka dalam kegiatan pembelajarannya juga belum memakai bangku, meja dan papan tulis, mereka hanya memakai batu tulis dan kertas. Mereka belajar dengan duduk bersila berkeliling (berhalaqah) menghadap guru.
Pada perguruan tinggi metode yang digunakan juga menggunakan cara halaqah. Guru duduk diatas tikar yang dikelilingi mahasiswanya. Jumlah mahasiswa yang hadir tergantung kepada guru yang mengajar, jika guru tersebut ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka mahasiswanya banyak, namun sebaliknya jika tidak terkenal dan tidak mempunyai kredibilitas intelektual maka akan sepi mahasiswa bahkan halaqah-nya ditutup.
Menurut charles Michael Staton, sebelum guru menyampaikan materi guru terlebih dahulu menyususn ta’liqah yang memuat silabus dan uraian yang disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadai mahasiswa tentang hasil bacaan dan pendapatnya terhadap materi yang bersangkutan. Ta’liqah memuat rincian jumlah pelajaran dan dapat disampaikan dalam jangka 4 tahun.
Pelajaran diberikan dengan dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacaya oleh murid, atau murid disuruh menyalin dari buku yang telah ditulis tangan. Pada saat itu mata pelajaran diajarkan satu persatu, misalnya diajarkan Al-Qur’an saja, setelah tamat atau hafal baru diajarkan pokok-pokok nahwu atau sharaf, kemudian diajarkan mata pelajaran lainnya.
Guru diharuskan mengajarkan qira’at, cara berwudhu, cara shalat, selain itu juga mengajarkan secara detail mengenai shalat-shalat Sunnah, shalat jenazah, dan doa-doa. Guru tidak hanya memberikan materi atau teori saja melainkan murid-murid juga harus mempraktikkannya.
5.      Kurikulum Pendidikan
Pada masa Abbasiyah belum ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Kurikulum pendidikan yang digunakan pada masa Abbasiyah dapat di bagi menjadi dua yaitu kurikulum tingkat dasar dan kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan dasar yang terdiri dari pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prinsip dasar Matematika dan pelajaran syair. Ada juga yang menambahnya dengan mata pelajaran nahwu dan cerita-cerita. Selain itu ada juga kurikulum yang dikembangkan sebatas menghafal Al-Quran dan mengkaji dasar-dasar pokok agama.[5] Kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina pada tingkatan ini adalah mengajari Al-Qur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental suadah siap menerima pendiktean dan pada waktu itu diajarkan huruf hijaiiyah serta dasar agama, kemudian syair beserta artinya, setelah itu diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.[6]
Kurikulum pada tingkatan dasar berfariasi, tidak terlepas dari faktor sosiologis, politis, dan ekonomi msyarakat yang melingkupinya. Di lembaga pendidikan umum masyarakat kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum karena anak belajar tergantung kepada guru yang tersedia. Sedangkan dengan pendidikan di istna, anak diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan orang tua mereka, lembaga pendidikan rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka. Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat, serta pengetahuan pokok, seperti Al-Qur’an, syair dan bahasa.
Kurikulum pendidikan tinggi, para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota kekota yang lain. Kurikulum pada tingkatan ini dibagi menjadi dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah). Menurut Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib) dalam bukunya Mafatih al-Ulum menjelaskan bahwa kurikulum agama terdiri dari ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris), ilmu arudh, ilmu sejarah (sejarah persia, sejarah islam, sejarah sebelum islam, sejarah Yunani dan Romawi).[7]
Kurikulum ilmu pengetahuan, merupakan ciri khas fase perkembangan pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia, dan India. Menurut Muhammad Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan ilmu kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu falaq, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.[8]
C.    Rekonstruksi terhadap pendidikan di Indonesia
Setelah kita mengetahui bagaimana sistem pendidikan di Abbasiyah maka kita dapat mengambil sistem pendidikan yang dapat dijadikan sebagai refrensi terhadap perubahan pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih baik. Dari segi materi pendidikan pada masa Abbasiyah sudah terbentuk sistem pendidikan yang demokratis dimana materi pelajaran tidak hanya bersifat wajib, namun juga ada materi pendidikan yang bersifat pilihan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia, pada masa sekarang materi pendidikan tingkat dasar dan menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan, materi pilihan baru ada pada tingkat pergururan tinggi.
Proses pembelajaran pada waktu Abbasiyah dapat dikatakan jauh lebih baik dari sistem pengajaran yang dilakukan sekarang ini. Karena waktu belajar yang dilakukan pada masa Abbasiyah jauh lebih efektif dan efisien dari waktu belajar sekarang. Waktu belajar sekarang hanya dari pagi hari sampai dengan waktu zuhur (anak kelas 3 sampai 6) sedangkan anak kelas 1 dan 2 hanya sampai jam sepuluh. Sehingga anak-anak banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia, malah kebanyakan waktu luang tersebut digunakan sebagai waktu untuk bermain.
Selain itu pendidikan pada masa Abbasiyah tidak terjadi peristilahan ilmu agama dan ilmu umum, namun pada masa sekarang terjadi pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum, yang ada hanyalah terintegrasinya sifat-sifat ilmu sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan objek yang masing-masing berbeda. Namun berbeda dengan pendidikan di Indonesia, pendidikan di Indonesia antara ilmu Agama dengan Ilmu umum lebih terasa terpisahkan atau istilahnya ada pendikotomian antara ilmu Agama dengan ilmu umum.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, peristilahan dikotomi tampak dalam praktek pendidikan selama ini, seperti pembedaan antara ilmu agama dan ilmu umum, antara madrasah yang identik dengan pendidikan keagamaan dan sekolah umum yang identik dengan ilmu-ilmu non agama. Masih terasa, bagaimana rezim orde baru tidak memperkenankan pengembangan pendidikan bagi madrasah atau pesantren. Bagaimana anggaran pendidikan yang tidak seimbang antara madrasah atau pondok pesantren dengan sekolah lainnya, sarana dan prasarana yang tidak seimbang sampai kepada kualitas pengajar dan guru yang di bawah standar akibat tidak pernah diberikan spesialisasi dan kekhususan dalam melaksanakan tugas kepengajaran.[9] Akibatnya pesantren tidak diminati, tidak berkualitas bahkan terkesan kumuh. Dengan adanya pendidikan yang terjadi seperti pada masa Abbasiyah dengan tidak memisahkan antara ilmu Agama dengan ilmu umum maka akan menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dalam bidang ilmu umum serta ilmu agama.
Kita dapat mengambil pelajaran dari segi pemerintahannya. Sistem pemerintahan yang lebih mementingkan kepentingan sosial terutama masalah pendidikan, sehingga sangat mempengaruhi terhadap perkembangan pendidikan pada masa itu. Kita dapat membandingan dengan pemerintah Indonesia yang malah mengeluarkan biaya yang tidak fungsional, seperti membelanjakan untuk sarana dan parasarana DPR yang sangat mewah padahal sarana dan prasarana yang tersedia juga masih bagus, hal tersebut tidak sebanding dengan kinerja DPR yang belum maksimal dalam memberikan konstribusi terhadap kemakmuran rakyatnya. 
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813 M-833 M). Pada masa Abbasiyah sistem pendidikan berkembang pesat sperti sistem pendidikan Kuttab yaitu tempat belajar menulis. Dari segi matri pendidikannya dapat dikategorikan menjadi dua yaitu meteri pendidikan umum dan materi pendidikan agama.
            Metode pengajaran yang diberikan pada masa Abbasiyah yaitu pengajaran diberikan kepada murid-murid seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas, sehingga guru harus mengajar muridnya dengan berganti-ganti. Pada saat itu belum menggunakan kursi ataupun papan tulis namun hanya dengan sistem halaqah. Metodenya pembelajarannya ada tiga yaitu metode lisan, menghafal, dan metode tulisan. Sistem kurikulumnya pada masa Abbasiyah terbagi menjadi dua yaitu sistem kurikulum dasar dan sistem kurikulum perguruan tinggi.            Rekonstruksi terhadap pendidikan di Indonesia, kita dapat menagambil dari segi materi pendidikan pada masa Abbasiyah sudah terbentuk sistem pendidikan yang demokratis dimana materi pelajaran tidak hanya bersifat wajib, namun juga ada materi pendidikan yang bersifat pilihan. Selain itu pada masa Abbasiyah tidak ada pemisahan pendidikan antara ilmu umum dengan ilmu Agama yang ada hanyalah terintegrasinya sifat-sifat ilmu sebagai sebuah ilmu yang berdiri sendiri dengan objek yang masing-masing berbeda. Selain itu kita juga dapat mengambil pelajaran dari segi pemerintahannya. Sistem pemerintahan yang lebih mementingkan kepentingan sosial terutama masalah pendidikan, sehingga sangat mempengaruhi terhadap perkembangan pendidikan pada masa itu.


DAFTAR PUSTAKA

Elmisbah Surur. Sejarah Pendidikan Islam Era Abbasiyah. http:// Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah, C@hya Kehidup@n.htm diakses pada 21/03/2012 pada pukul 16:31
Faizah Binti Awadi. Pendidikan islam masa bani abbasiyah tanpa dikotomi. Dikutip dari http://pendidikan islam   masa bani abbasiyah tanpa dikotomi, prodi bpi dakwah.htm. diakses pada 21/03/2012 pada pukul 16:15
Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Suwito dan Fauzan. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media






[1] Samsul Nizar, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal 65
[2] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial pendidikan islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 12
[3] Ibid, hal 15
[4] Ibid, hal 14
[5] Elmisbah Surur, Sejarah Pendidikan Islam Era Abbasiyah. http:// Sejarah Pendidikan Agama Islam Masa Abbasiyah, C@hya Kehidup@n.htm
[6] Abudin Nata, Sejarah pendidikan Islam,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal 117
[7] Ibid, hal 120
[8] Ibid, hal 121
[9] Faizah Binti Awadi. Pendidikan islam masa bani abbasiyah tanpa dikotomi. Dikutip dari http://pendidikan islam   masa bani abbasiyah tanpa dikotomi, prodi bpi dakwah.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar