Rabu, 11 April 2012

Cara kerja Ilmu Sosial Humaniora dan Keagamaan


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH
Ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah  kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya. Dalam hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, sangat dibutuhkan ilmu sosial humaniora, karena di dalamnya terdapat bagaimana cara berhubungan antara sesama manusia, sehingga dengan ilmu tersebut manusia akan dapat menjalin hubungan dengan manusia yang lainnya dengan menjalin hubungan yang baik.
Indonesia dipandang sebagai negeri muslim terbesar di dunia agaknya bukan semata-mata karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Negeri ini juga memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak dibanding dengan negeri-negeri muslim manapun. Sebagai umat muslim hendaknya harus mampu mengambil makna dari Islam itu sendiri, maka sangat dibutuhkan ilmu agama sebagai landasan dalam berhubungan antara manusia dengan tuhannya, sehingga umat muslim bukan hanya seorang yang beragama Islam, akan tetapi lebih utama adalah pengamalan dari Islam itu sendiri.
RUMUSAN MASALAH
  1. Apa pengertian dari ilmu sosial humaniora?
  2. Bagaimana cata kerja ilmu sosial humaniora?
  3. Apa pengertian dari ilmu keagamaan?
  4. Bagaimana cara kerja dari ilmu keagamaan?
TUJUAN
  1. Untuk dapat mengetahui pengertian dari ilmu sosial humaniora.
  2. Untuk dapat mengetahui cara kerja ilmu sosial humaniora.
  3. Untuk dapat mengetahui pengertian dari ilmu keagamaan.
  4. Umtuk dapat mengetahui cara kerja dari ilmu keagamaan.
PEMBAHASAN
A.        ILMU SOSIAL HUMANIORA
1.     Pengertian Ilmu Sosial Humaniora
Ilmu pengetahuan dalam dinamikanya dapat diklasifikasi menjadi beberapa kategori. Menurut Taufik Abdullah (2006:33-34), ilmu terbagi dalam dua kategori besar yaitu ilmu eksakta dan noneksakta. Khusus ilmu noneksakta dipilah menjadi dua ; ilmu humaniora dan ilmu sosial. Ilmu yang berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, dan bahasa dikategorikan dalam ilmu humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu sosial. Pendapat serupa disampaikan Helius Syamsudin (2007:272), bahwa pengetahuan manusia (human knowledge) umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu alamiah mengkaji lingkungan hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji manivestasi-manivestasi (eksistensi) kejiwaan manusia.
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Definisi serupa disampaikan Taufik Abdullah (2006:31), ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama . Sedangkan Dadang Supardan (2008:34-35) menyampaikan ilmu sosial (social science) adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah  kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya.
Obyek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia mengandung : pilihan, tanggung jawab, makna, pernyataan privat dan internal, konvensi, motif dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat Ilmu.2007:4). Aktivitas manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menjalin hubungan sosial diantara sesamanya dan bersifat kondisionalitas. Dengan kata lain obyek tersebu sebagai gejala sosial. Gejala sosial memiliki karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut, sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, maupun kombinasi berbagai aspek.
Menurut Wallerstein (dalam Dadang Supardan.2008:34) yang termasuk disiplin ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu politik, dan hukum. Sedangkan menurut Robert Brown dalam karyanya Explanation in Social, ilmu-ilmu sosial meliputi ; sosiologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi (Taufik Abdullah.2006:33). Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang apa yang disebut ilmu sosial, namun semuanya mengarah kepada pemahaman yang sama, bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Ilmu sosial dalam perkembangannya kemudian lahir berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti; ilmu komunikasi, studi gender, dan lain-lainnya.
Secara umum ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok disiplin ilmu-ilmu sosial adalah :
1.     Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dalam hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut (interaksi sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses sosial maupun perubahan sosial) (Soerjono Soekanto.2006:17-21).
2.     Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang umat manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia (Koentjaraningrat.1986:1-2)
3.     Ilmu Geografi adalah the science of places, concerned with qualities an potentialities of countries (Vidal dela Blache dalam Dadang Supardan. 2008:227). Dalam pandangan ilmuwan geografi, secara sederhana geografi merupakan disiplin akademik yang terutama berkaitan dengan penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi di permukaan bumi, fokusnya pada lingkungan, tata ruang, dan tempat.
4.     Ilmu Sejarah adalah ilmu yang yang berusaha untuk mendapatkan pengertian tentang segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang diucapkan, dipikirkan dan dilaksanakan) oleh manusia di masa lampau yang bukti-buktinya masih dapat ditelusuri/diketemukan masa sekarang. (Widja.1988:8)
5.     Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya terbatas (Samuelson dan Nordhaus.1990:5).
6.     Psikologi adalah ilmu mengenai proses perilaku dan proses mental (Dadang Supardan.2008:425).
7.     Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Masalah-masalah kekuasaan itu menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem yang ada dan melaksanakan apa yang menjadi tujuan (Miriam Budihardjo. 1986:8).
2.     Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora berkembang lebih kemudian dan perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam. Hal ini karena, objek kajian ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi dan bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial-humaniora nilai manfaatnya tidak bisa langsung dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi, kompromi, dan konsesus. Seperti halnya ilmu-ilmu alam, manusia juga sudah barang tentu membutuhkan ilmu-ilmu sosial-humaniora untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fiscal-material, melainkan lebih bersifat abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan membawa manusia untuk mengatur prilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan prinsip kemanusiaan membawa kepada sikap tidak diskriminatif atas orang lain meski berbeda ras, warna kulit, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya.
Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip seperti berikut :
a.          Gejala sosial-humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis.
Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala yang ditelaah lebih bersifat “mati” baik yang ada dalam alam, pikiran (matematika), maupun dalam diri manusia, geala-gejala yang diamati dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora bersifat hidup dan bergerak secara dinamis.[1] Objek studi ilmu-ilmu sosial humaniora adalah manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau inner worldnya dan bukan outer worldnya yang menjadi ciri ilmu-ilmu alam. Berbeda dengan ilmu kedokteran, yang lebih membicarakan aspek luarnya manusia secara biologis atau fisik, ilmu-ilmu sosial humaniora lebih menekankan pada sisi bagian “dalam” manusia atau apa yang ada “di balik” manusiaseecara fisik, pada innerside, mental life, mind-effect world, dan geistige welt.[2]
b.     Obyek penelitian tak bisa diulang.
Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena berupa benda-benda “mati” maka bersifat stagnan dan tidak berubah-ubah, dan karenanya bisa diamati secara berulang-ulang.  Sementara gejala-gejala sosial humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak sangat besr, karena mereka tidak stagnan dan tidak statis. Masalah sosial kemanusiaan sering bersifat sangat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian sosial mungkin yang ulu pernah terjadi barangali secara mirip bisa terulang dalam masa sekarang atau nanti, tetapi tetap secara keseluruhan tak pernah bisa serupa. Misalnya prilaku kerusuhan sosial orang-orang di Surakarta dulu prnah diteliti, dan sekarang ilmuwan sosial mencoba meneliti kembali prilaku kerusuhan sosial mereka itu, maka tidak akan pernah mungkin sama karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang dan bahkan dimungkinkan berubah sama sekali dan ditambah lagi perubahan-perubahan konteks sosio-budaya-politiknya.
Dengan demikian gejala-gejala sosial-humaniora cenderung tidak bisa ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya. Jika dalam ilmu-ilmu alam, gejala-gejala alam bisa ditelah secara berulang-ulang, sehingga mampu dihasilkan hokum-hukum obyektif dan nomotetik, sedangkan dalam ilmu sosial humaniora hanya dilukiskan keunikannya atau bersifat idiographic.[3] Ilmu-ilmu sosial humaniora hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial humaniora, bukanmenemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran ini lebih besar kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan, daripada menghasilkan kesimpulan yang sama.
c.     Pengamatan relative lebih sulit dan kompleks.
Mengingat sifat gejala-gejala sosial-humaniora yang bergerak dan bahkan berubah, maka bisa dibayangkan ilmuwan sosial-humaniora dalam mengamati mereka sudah barang tentu lebih sulit dan kompleks. Karena yang diamati adalah apa yang ada dibalik kenampakan fisik dari manusiadan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka. Melihat seseorang tersenyum pada orang lain adalah hal yang sering bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dalam ilmu sosial-humaniora dapat bermakna banyak, orang yang tersenyum bisa karena ia senang dengan orang yang dilihatnya, karena orang yang dilihatnya adalh lucu dan aneh atau bahkan karena ia tidak senang pada orang yang dilihatnya tetapi agar tidak terlihat oleh mata orang-orang disekitarnya bahwa ia tidak senang pada orang yang dilihatnya. Van dalen menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang relative kecil dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan ilmu-ilmu sosial humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan karenanya variable dalam penelaahan sosial humaniora relative lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang membingungkan.[4] Kuntowijoyo tentang hal ioni menggarisbawahi bahwa manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan benda yang ditentukan menurut hokum-hukum yang baku sebagaimana benda-benda mati lainna yang tak memiliki kesadaran apalagi kebebasan kehendak. Benda mati bisa dikontrol dan dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak bisa karena disamping dikendalikan, ia juga bisa mengendalikan orang lain. Determinisme dalam segala bentuk apakah itu ekonomi, lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga sebagai dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent variable. Oleh karena itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora adalah jauh lebih komples, subyek dan obyek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas benda, batu misalnya.
d.     Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati.
Subyek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial humaniora jelas jauh berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subyek pengamat bias mengambil jarak dan focus pada obyektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu sosial humaniora karena subyek dan obyek adalah manusia yang emiliki motif dan tujuan dalam setiap tingkah akunya, makasubyek yang mengamati tidak mungkin bias mengambil jarak dari onyek yang diamati dan menerapkan prinsip obyektivistik, dan tampaknya lebih condong ke prinsip subyektivistik.  Karena subyek yang mengamati adalah manusia yang juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia menjadi bagian integral dari obyek yang diamati yang juga manusia itu.
Dalam “membongkar” motif, tujuan dari perbuatan yang dilakukan manusia, maka peneliti tidak bias melepaskan dari kecenderungan- kecenderungan nilai individu yang sedang dipeganginya. Dengan cara ini, obyek sosial humaniora yang sama diamati oleh beberapa pengamat hampir bias dipastikan tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam dalam interpretasinya karena subyek pengamat sosial humaniora ukanlah sekedar spectator saja tetapi juga terlibat baik secara emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari obyek yang diamatinya.
e.     Memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak terkontrol.
Suatu teori sebagai hasil suatu pengamatan sosial humaniora tidak serta merta bias dengan mudah untuk memprediksikan kejadian sosial humaniora berikutnya. Hal ini dikarenakan dalam ilmu sosial humaniora, pola-pola prilaku sosial humaniora yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian yang sama. Meskipun demikian, bukan berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora tidak bias dipakai sama sekali untuk meramalkan kejadian-kejadian sosial lain sebagai akibatnya dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bias tetapi tidak mungkin sepasti dan semudah ilmu-ilmu alam.
B.        ILMU KEAGAMAAN
1.       Pengertian Ilmu Keagamaan
Ilmu dalam pengerti secara umum adalah pengetahuan yang sistematis dan terstruktur. Sedangkan agama adalah suatu bentuk penghambaan manusia kepada Tuhannya, yaitu bentuk kepasrahan dan rasa syukur atas nikmat-nikmat dari Tuhan. Di dalam ilmu keagamaan terdapat pembelajaran yang sangat kompleks, selain pembelajaran tentang bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, maupun hubungan manusia dengan sesamanya, dan juga dengan alam. Ketiga hal tersebut haruslah dipelajari dengan seimbang.
Adapun pengertian ilmu agama juga dapat didevinisikan dalam beberapa pendapat, antara lain
  1. Ilmu yang disusun dengan tujuan menerangkan dan menafsirkan kitab serta sunnah, seperti: Ushul Fiqhi, Ulum al-Qur’an, tata bahasa Arab, Logika, Filsafat, Hermeneutik dan lain-lain;
  2. Ilmu yang diperoleh dari hasil penafsiran dan penjelasan kitab dan sunnah.
  3. Ilmu yang diperoleh dari hasil penyingkapan mukjizat ilmiah  al-Qur’an dan Sunnah
  4. Setiap pengetahuan yang diperoleh melalui metode eksperimen, akal dan agama.[5]
Pendidikan nilai merupakan bagian yang inhern dalam proses pendidikan Islam di Indonesia. Ia mengalami perkembangan dan dinamika sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Ia juga membawakan pesan substansial yang permanen dari masa kemasa dengan merujuk pada sumber nilai yang dipeganginya. Dalam kondisi ini tarik menarik antara tuntutan perubahan dan kepatuhan akan sebuah nilai akan melahirkan variasi dalam proses dan pendekatan dalam pendidikan Islam.
2.       Cara Kerja Ilmu Agama
Dewasa ini, dapat dilihat bahwa pendidikan Islam berkembang pesat. Pada tahun-tahun pertama dekade ini muncul gagasan-gagasan baru dalam usaha pengembangan pendidikan Islam. Secara keseluruhan gagasan-gagasan itu merupakan pemikiran untuk menghindari kebuntuan pembaharuan yang sudah berlangsung sejak pertengahan dekade 1970-an. Sudah menjadi keperihatinan banyak kalangan bahwa kajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam nampaknya berhenti pada dasar-dasar rasionalisme dan komparatifisme yang sudah diletakkan oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti Harun Nasution dan Mukti Ali.
Dunia pendidikan Islam sebagian besar masih mengikuti paham Islam klasik yang didominasi oleh ulum al-asyar’i. memasuki dunia modern, tradisi itu mengalami kesenjangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah sangat kuat mempengaruhi peradaban ummat manusia hingga dewasa ini. Kesenjangan itu telah menghadapkan dunia pendidikan Islam dengan tiga situasi yang buruk: pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas kemoderenan; dan ketiga, menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama pada aspek-aspek fundamental ilmu pengetahuan itu sendiri, sehingga penyelesaianya memerlukan penanganan yang serius.
Dalam hubungan agama dan ilmu pengetahuan, secara garis besar terdapat dua pandangan yang berkembang di Indonesia, tetapi kedua-duanya belum diwujudkan dalam usaha yang serius dan terus menerus. Sebagian pandangan berasumsi bahwa ilmu pengetahuan sebagai produk dari kegiatan ilmiah bersifat netral [bebas nilai]. Meskipun lahir dan berkembang dalam masyarakat Barat yang sekuler, ilmu pengetahuan sebagaimana adanya dapat digunakan untuk kepentingan ummat manusia. Kaum muslimin dengan jiwa keislamannya yang mantap dengan menggunakan ilmu pengetahuan itu dan dijamin tidak akan hanyut dalam arus sekularisasi. Dalam konteks ini, gagasan Islamisasi dipandang sikap apriori, semata-semata karena ilmu pengetahuan modern dikemabngakan oleh ilmuwan-ilmuwan Barat.
Pada tataran yang paling sederhana, Islamisasi ilmu pengetahuan sering dilakukan dengan mencarikan doktrin-doktrin agama yang relevan. Bangunan ilmu pengetahuan modern sepenuhnya diterima, hampir tanpa gugatan yang kritis, tetapi ditambahkan dan diperkuat dengan ketentuan-ketentuan teks-teks (nushush) al-Qur’an dan al-Hadits yang mendukung. Cara kerja islamisasi ilmu pengetahuan yang sederhana ini tidak jauh berbeda dengan cara kalangan Islam yang mengadopsi ideologi modern tertentu dengan dalil-dalil yang relevan, seperti munculnya faham sosialisme Islam. Pada tahap awal, langkah ini cukup berguna sebatas menghidupkan semangat keislaman meskipun tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Tahap yang cukup signifikan dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha membangun basis-basis keIslaman yang tangguh untuk semua disiplin ilmu. Usaha ini biasa disebut dengan Islamisasi disiplin ilmu [Islamisasion of disciplines]. Daripada mempersoalkan aspek-aspek filosofis ilmu pengetahuan secara mendasar, Islamisasi disiplin ilmu lebih langsung mengenai secara kritis teori-teori ilmu pengetahuan yang sudah berkembang. Keseriusan usaha ini terletak pada proses seleksi, identifikasi, dan klasifikasi teori-teori yang relevan dan tidak relevan dengan Islam. Dengan demikian, penggunaan dalil-dalil keagamaan tidak selalu untuk mengabsahkan teori yang ada, tetapi juga untuk menolak dan sekaligus menawarkan alternatif terhadap teori yang berlawanan dengan ajaran Islam. Proses ini secara otomatis ikut memperkaya teori-teori ilmu pengetahuan itu sendiri dengan munculnya berbagai versi (mazhab).
KESIMPULAN
Dari uraian pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu sosial humaniora merupakan ilmu yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum dalam prinsip-prinsip, antara lain, gejala sosial-humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis, Obyek penelitian tak bisa diulang, Pengamatan relative lebih sulit dan kompleks, Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati. Memiliki daya prediktif yang relative lebih sulit dan tak terkontrol.
Kemudian pengertian dari ilmu agama secara umym adalah ilmu yang mempelajari segala tentang yang berhubungan dengan cara-cara penghambaan kepada Tuhan. Sedangkan cara kerja dari ilmu agama adalah memadukan antara ilmu dengan agama, sehingga dalam memahami agama tetaplah menggunakan ilmu yang dapat dijadikan landasan rasional. Dalam ilmu agama tidak dikenal dikotomi ilmu, karena semua ilmu memiliki keterkaitan untuk saling menunjang ilmu yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dadang Supardan. 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta : PT Bumi Aksara.Helius Syamsudin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ompak.
Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Taufik Abdullah. 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Jaman. Jakarta : Raja Grafindo Persada.Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. 2007. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty.
Ghazali, Bachli DKK. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Koentjaraningrat.1986.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta : Aksara Baru.Miriam Budiardjo. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia.
Samuelson, Paul A. Dan William D. Nordhaus. 1990. Ekonomi, jilid 1. Jakarta : Erlangga.Widja, I Gde.1988.Pengantar Sejarah Dalam Perspektif Pendidikan. Semarang : Satya Wacana.
http://www.find-docs.com/pengertian-ilmu-ilmu-humaniora-doc~2.html


[1]               Deobold B.van dalen, “ilmu-ilmu Alam dan ilmu-ilmu sosial: beberapa perbedaan”, dalam jujun s.Suriasumantri(ed.), ilmu dalam perspektif:sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu, cet. Ke-16 (Jakarta: Yayasan Obor,2003), hal.134
[2]               Kuntowijoyo, “epistimologi dan paradigm ilmu-ilmu humaniora dalam perspektif pemikiran islam”, dalam M.Amin Abdullah dkk, menyatkan kembali ilmu-ilmu Agama dan Umum, (Yogyakarta:sunan kalijaga press, 2003) hal.63
[3]               Ibid., hlm :
[4]               Loc.cit.,
[5] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlak dar al-Qur’ân, Jld. 2, Hal. 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar