Rabu, 11 April 2012

Pendidikan sebagai Human Capital




PENDIDIKAN SEBAGAI HUMAN CAPITAL

A.    Peranan Pendidikan sebagai Human Capital
Dewasa ini terjadi pergeseran istilah Sumber Daya Manusia atau Human Resources menjadi Human Capital. Bahkan beberapa perusahaan besar dan berkembang membentuk unit atau divisi Human Capital Development sebagai pengembangan dari Human Resources Division.
Secara harafiah, maka pengertian Human Capital dapat dipilah sebagai berikut:
Human adalah Manusia, dan Capital adalah Modal. Jadi dapat dirangkaikan Human Capital adalah bagaimana menjadikan manusia sebagai modal atau asset.
Konstitusi Indonesia dengan jelas menekankan bahwa pluralitas adalah hal alami bagi karakter Indonesia yang demokratis. Hak warganegara termasuk hak kultural dan akses terhadap pendidikan dilindungi sebagai tanggungjawab sosial negara terhadap warga.
Tapi, dalam praktiknya, prinsip-prinsip demokratis tidak ditanamkan melalui sistem pendidikan. Dalam kenyataan, pendidikan belum jadi instrumen pembangunan kebudayaan nasional. Dialog inter-kultural, pengakuan terhadap perbedaan dan penguatan hubungan-hubungan sosial semakin jarang terlihat.
Sistem pendidikan saat ini berorientasi pada pencapaian standar angka yang individual, terlebih dengan masuknya kapitalisme mutakhir. Kompetensi yang ditawarkan dalam pendidikan sangat individual, tidak bersifat komunal. Pendidikan yang seharusnya memperkuat relasi sosial yang diambil dari unsur-unsur sangat lokal telah berubah menjadi penguatan individual. Pendidikan di Indonesia sangat tidak demokratis. Konsep demokratisasi justru dimatikan oleh pendidikan itu sendiri.
Di era globalisasi ini persaingan pendidikan semakin ketat, baik dari segi intelegensi maupun dari segi keungan yang dimiliki masyarakat. Maka dari itu tiap individu dituntut untuk mengembangkan sumber daya manusia yang mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya agar dapat bersaing dengan dunia luar, sehingga di masa mendatang masyarakat dapat berdiri sendidri dan masyarakat tidak menjadi konsumer dari negara-negara lain.
Peranan pendidikan dalam kehidupan adalah sangat penting karena di era globalisasi sekarang ini dunia kerja menuntut sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas oleh karena itu dunia pendidikan mau tidak mau harus dapat menciptakan wadah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan tenaga kerja yang terampil.
Human capital bukanlah  memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin, sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin, sebagaimana teori human capital terdahulu. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan untuk memfokuskan pembangunan manusia dengan menitikberatkan pada investasi pendidikan (termasuk pelatihan) dalam rangka peningkatan mutu organisasi sebagi bagian pembangunan bangsa. Penanganan sumber daya manusia sebagai human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi non fisik jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Pendidikan sangat berpengaruh kepada ekonomi suatu bangsa, pendidikan bukan hanya dapat menjadikan manusia yang berpengetahuan, berpendidikan, dan mengetahui teknologi saja, namun pendidikan dapat dijadikan sarana sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi. Karena dengan pendidikan manusia bisa membuat inovasi-inovasi baru yang menunjang ekonomi sesuai dengan perkembangan zaman.
Pendidikan itu sendiri merupakan alat untuk mengembangkan ekonomi dan bukan sekedar menumbuhkan ekonomi. Dalam praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis dari tataran individual sampai kepada tataran yang lebih luas. Fungsi teknis-ekonomis mengarah kepada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Sebagai contoh misalnya, pendidikan dapat membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan agar manusia dapat survive dan mampu bersaing dalam kehidupan ekonomi yang makin kompetitif.
Kita dapat melihat, pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin baik pula tingkat kehidupan ekonominya. Hal ini bisa saja terjadi, sebab manusia yang lebih terdidik berkecenderungan lebih produktif dibandingkan dengan manusia-manusia yang tidak terdidik.
Salah satu ciri Negara maju adalah tingginya tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi, karena itu pendidikan sangat di tekankan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia seperti adanya pelatihan skill, ketrampilan dan pengetahuan tentang dunia usaha agar menciptakan sumber daya manusia yang berdaya saing, kompeten, kreatif, berwawasan luas dan mempunyai integritas tinggi yang dibutuhkan oleh berbagai sektor usaha baik sektor industri dan lainnya.
Pendidikan merupakan sarana untuk menciptakan sumber daya manusia, sumber daya manusia bagi sebuah perusahaan yang ingin berumur panjang merupakan suatu hal strategis. Oleh karena itu, untuk menangani sumber daya manusia yang handal harus dilakukan sebagai human capital. Para manajer harus mengaitkan pelaksanaan mencari sumber daya manusia dengan strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja, mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inovasi dan fleksibilitas. Peran strategis sumber daya manusia dalam organisasi bisnis dapat dielaborasi dari segi teori sumber daya.
Pendidikan merupakan salah satu sumber modal manusia yang menjadi
perhatian sejak awal (Becker, 1993). Pendidikan adalah investasi modal manusia dalam bentuk waktu dan biaya. Pendidikan juga dipandang sebagai salah satu bentuk investasi modal manusia yang paling penting, khususnya untuk meningkatkan tingkat pendapatan seorang karyawan. Secara teori, rerata pendapatan seorang lulusan S3 akan lebih tinggi dari lulusan S2, rerata pendapatan seorang lulusan S2 akan lebih tinggi dari lulusan S1, rerata pendapatan seorang lulusan S1 akan yang lebih tinggi dari lulusan D3, dan seterusnya.
Meskipun demikian, pada kenyataannya, terjadi trend devaluasi pendidikan
tinggi dimana jumlah penawaran lulusan pendidikan tinggi terus bertambah meskipun jumlah permintaannya tidak banyak berubah. Oleh karena itu, banyak lulusan S2 yang bersedia mengisi lowongan kerja untuk level S1 dengan standar gaji S1, lulusan S1 bersedia mengisi lowongan kerja untuk level D3 dengan standar gaji D3, dan seterusnya.
Devaluasi ini semakin parah akibat kurangnya link and match antara institusi
perguruan tinggi dan pengguna lulusan sehingga hanya menghasilkan tenaga kerja yang overeducated namun underskilled. Hal ini menyebabkan lowongan
lowongan kerja yang membutuhkan kompetensi spesifik terbuka lebar kekurangan pelamar, sementara lowonganlowongan kerja yang tidak membutuhkan kompetensi spesifik justru kebanjiran pelamarpelamar yang berpendidikan tinggi namun tidak memiliki kompetensi khusus.
Salah satu isu yang penting dicermati dalam masalah pendidikan dan modal
manusia adalah masuknya pelamar yang lulus dari institusi pendidikan di luar negeri dalam pasar tenaga kerja. Untuk saat ini, memang lulusan institusi pendidikan luar negeri memiliki keunggulan untuk diterima bekerja dan atau mendapat gaji awal yang lebih tinggi dibanding lulusan institusi pendidikan dalam negeri. Dari hal itulah muncul anggapan masyarakat bahwa pendidikan di luar negeri lebih menjanjikan di bandingkan pendidikan di negara kita sendiri, yang notabennya lebih murah.
B.     Sebab pendidikan sebagai human capital
Pendidikan merupakan sarana investasi yang terpenting bagi manusia sebagai modal dalam bersaing di era global. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sekolah tinggi dan pendidikan tinggi di Amerika Serikat sangat meningkatkan pendapatan seseorang, bahkan setelah dikurangi keluar biaya langsung dan tidak langsung sekolah, dan bahkan setelah disesuaikan untuk fakta bahwa orang dengan pendidikan lebih cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi dan lebih baik berpendidikan. Pendapatan dari lebih banyak orang berpendidikan hampir selalu jauh di atas rata-rata, walaupun keuntungan umumnya lebih besar di negara-negara berkembang.
Pendidikan formal saja tidak dapat menjamin manusia dapat bekerja, namun diperlukan juga sarana atau lembaga yang mendukung seperti lembaga latihan pekerjaan yang ada di luar sekolah. Bahkan lulusan perguruan tinggi tidak sepenuhnya siap menghadapi pasar tenaga kerja ketika mereka meninggalkan sekolah dan harus dipasang ke pekerjaan mereka melalui program pelatihan formal dan informal.Oleh karena itu keahlian dan kecakapan seseorang dalam menghadapi persaingan tenaga kerja sangat dipengahuri oleh seberapa tinggi dan luasnya pendidikan yang dimiliki masing-masing individu.
Maka dari itu diperlukannya usaha-usaha dan program-program untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan bermutu tinggi untuk menghadapi persaingan internasional karena dunia kerja sangat menunutut untuk memperoleh sumber daya manusia yang bervarietas tinggi. Dengan pendidikan potensi yang dimiliki seseorang akan dapat terarahkan dengan baik, sehingga dapat menjadikan manusia yang berdaya guna. Pendidikan pula yang menjadikan manusia lebih berpengetahuan dan memiliki kemampuan yang lebih baik.
Secara umum pendidikan sebagai human capital terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di negara kita Indonesia.

C.    Perkembangan Pendidikan sebagai Human Capital
Selama akhir abad ke-20 ke-19 dan awal, modal manusia di Amerika Serikat menjadi jauh lebih berharga sebagai kebutuhan tenaga kerja trampil datang dengan kemajuan teknologi baru ditemukan.
Abad ke-20 sering dipuja sebagai “abad modal manusia” oleh para sarjana di amerika saerikat, selama periode ini gerakan massa baru terhadap pendidikan menengah membuka jalan bagi transisi ke pendidikan massa yang lebih tinggi. Teknik-teknik baru dan proses pendidikan lebih lanjut dari norma sekolah dasar, yang dengan demikian menyebabkan terciptanya pendidikan formal lebih di seluruh bangsa. Kemajuan ini menghasilkan kebutuhan tenaga kerja trampil lebih yang menyebabkan upah pekerjaan yang diperlukan untuk pendidikan lebih jauh menyimpang dari upah orang yang dibutuhkan kurang. Perbedaan ini menciptakan insentif bagi individu untuk menunda memasuki pasar tenaga kerja untuk mendapatkan pendidikan yang lebih.
Negara-negara di kawasan Arab dihadapkan dengan tantangan untuk mengembangkan keterampilan populasi mereka dan pengetahuan teknis, atau modal manusia, untuk bersaing dalam perekonomian global abad ke-21. Keadaan telah menggambarkan pendidikan dan inisiatif pasar tenaga kerja dilaksanakan atau sedang berlangsung di empat negara di kawasan Arab – Lebanon, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) – untuk mengatasi masalah sumber daya manusia mereka hadapi setiap saat mereka mempersiapkan diri mereka negara untuk tempat dalam ekonomi global abad ke-21.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa tua dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya.
Pendidikan dapat dipandang sebagai konsumsi. Pendidikan sebagai konsumsi adalah pendidikan sebagai hak dasar manusia. Sebagaimana UUD 1945 pasal 31 menyebutkan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Pendidikan sebagai konsumsi ini merupakan hak demokrasi yang dimiliki oleh setiap warga Negara, sehingga sampai tingkat tertentu penyelenggraannya harus dilakukan oleh pemerintah. Wajib belajar sembilan tahun (SD/MI, SMP/MTs) merupakan contoh hal ini. Dari segi sifat kebutuhan, pendidikan pada tingkat ini merupakan barang publik yang dapat diakses oleh setiap masyarakat. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan akan pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan dan pemahaman.

D.    Pengelolaan Pendidikan sebagai Human Capital di Indonesia
Pemikiran mengenai manusia sebagai pelaku utama perubahan ekonomi di suatu negara didukung oleh teori human capital. Teori human capital menunjukkan bahwa hasil dari investasi pendidikan memiliki tingkat pengembalian sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan investasi berupa pembangunan fisik.
Teori human capital memposisikan manusia sebagai modal layaknya mesin sehingga seolah-olah manusia sama dengan mesin. Namun setelah teori ini semakin meluas, maka human capital justru bisa membantu pengambil keputusan di negara-negara yang masih berkembang untuk memfokuskan pembangunan manusia yaitu menitikberatkan pada investasi pendidikan.
Namun sayangnya, negara berkembang memiliki berbagai problem dalam memfokuskan anggaran untuk pendidikan. Di Indonesia sendiri, perhatian besar yang memiliki landasan hukum yang lebih jelas terjadi setelah adanya perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pada pasal 31 ayat (4) yang isinya: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Semenjak munculnya angka dua puluh persen untuk anggaran pendidikan dalam UUD Negara RI 1945, maka perhatian terhadap pendidikan telah diimplementasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dengan mulai mempertinggi persentase anggaran, dan hingga saat ini persentase terbesar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara adalah untuk sektor pendidikan. Kendati ada keterbatasan anggaran, kesadaran kolektif untuk menuju angka dua puluh persen telah ada. Berbagai desakan dari stake holder pendidikan agar parlemen dan pemerintah segera mewujudkan angka dua puluh persen membuktikan adanya kesadaran tersebut.
Setelah enam puluh dua tahun proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia belum menggembirakan. Jika pada awal 1990an hingga 1996 Indonesia banyak mendapat berbagai pujian seperti Macan Asia, Keajaiban Asia, New Emerging Market, Negara Tujuan Investasi, dan juga angka kemiskinan yang menurun menjadi sekitar 22 juta jiwa versi pemerintah, maka semenjak 1997 hingga saat ini berbagai julukan dan predikat tersebut lenyap dan digantikan dengan berbagai status yang tidak menggembirakan.
Di samping itu, keruntuhan rejim orde baru yang memunculkan makna demokrasi yang lebih baik belum bisa memberikan dorongan yang lebih cepat untuk merubah kondisi Indonesia. Era transisi berjalan begitu lama, dan belum diimbangi dengan peran sumber daya manusia yang handal untuk mengangkat kembali harkat dan martabat ratusan juta rakyat Indonesia. Meskipun telah banyak sumber daya manusia yang menjalani pendidikan hingga tingkat pascasarjana, kontribusi yang tergambarkan secara makro masih dirasa belum signifikan.
Dalam teori human capital, individu yang menjalani pendidikan akan memberikan tingkat pengembalian sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran ini, maka seharusnya individu yang berada pada jajaran pengambil keputusan (di berbagai level) dan termasuk dalam memberikan layanan publik mampu membuktikan tingkat pengembalian sosial mereka dalam bentuk munculnya berbagai kebijakan yang mengangkat derajat hidup rakyat dan memberikan layanan yang baik kepada publik.
Pemerintah indonesia, yaitu dengan kesepakatan antara Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Departemen Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dirilis oleh Bapekki Depkeu melalui harian Bisnis Indonesia tanggal 20 Maret 2007, menunjukkan komitmennya atas reformasi sistem pendidikan di negeri ini. Komitmen ini diterapkan pada tahun ini dengan mengubah fokus pendirian lembaga Pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat kejuruan akan diperbanyak jumlahnya. Idealnya, menurut Bapekki jumlah lembaga pendidikan kejuruan mencapai 70% dari lembaga pendidikan yang ada, sedangkan sisanya 30% lagi diisi oleh lembaga pendidikan umum.
Komposisi ini telah banyak diterapkan oleh negara-negara di kawasan Asia dan Eropa, dan telah terbukti mampu menekan laju pengangguran di negara-negara tersebut. Dengan besamya komposisi lembaga pendidikan kejuruan, akan tercipta link and match antara dunia pendidikan dan lulusannya dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha.
Dari paparan teori diatas terkait kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang disampaikan oleh beberapa ahli ekonomi pendidikan adalah pendidikan menghasilkan peningkatan ketrampilan dan kemampuan dalam produksi. Jika ketrampilan dan kemampuan untuk memproduksi meningkat maka pertumbuhan ekonomi pun akan meningkat.
Salah satunya adalah SMK, karena SMK merupakan lembaga pendidikan yang mempersiapkan lulusannya untuk memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan yang akan menjadi bekal setelah menyelesaikan pendidikan. Sehingga lulusan SMK memiliki bekal sebagai job creator maupun sebagai worker, yang berarti siap memasuki pasar kerja. Pendidikan Menengah Kejuruan mengantisipasi kondisi ini melalui penerapan sistem pendidikan dan pelatihan Kejuruan berdasarkan kompetensi.
Dengan pemikiran ini, pembahasan tentang peran pendidikan SMK terhadap pertumbuhan perekonomian akan melibatkan pembahasan SMK sebagai lembaga yang menyiapkan human capital yang berkualitas. Dengan terciptanya Sumber daya manusia atau lulusan yang berkualitas yaitu  lulusan yang cerdas, terampil dan siap kerja sehingga siap memasuki pasar kerja. Keterserapan para lulusan yang merupakan output SMK akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui terciptanya nilai tambah terhadap barang dan jasa yang terdapat dalam dijelaskan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam menyekolahkan anak-anaknya untuk menempuh studi di jenjang SMK. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia yang dapat digunakan dalam pengolahan sumber daya yang tersedia dalam perekonomian.
Selain dengan mendidrikan sekolah-sekolah kejuruan, sebaiknya pemerintah juga mengimbangi antara sekolah kejuruan dengan sekolah umum, supaya tidak terjadi kesenjangan sosial. Seperti dengan memasukkan bimbingan pekerjaan kepada kurikulum pendidikan tingkat menengah pertama ataupun tingkat atas. Sehingga siswa yang lulusan selain sekolah kejuruan sudah siap untuk bersaing dan siap bekerja. Selain itu sebaiknya juga pada sekolah-sekolah diadakan pembelajaran ketrampilan, seperti ketrampilan menyetir, menjahit, ataupun menyablon.
Pemerintah juga sebaiknya selain mendirikan lembaga pendidikan formal, harus mendirikan suatu lembaga penyaluran kerja, yang didalamnya menyangkut tentang pelatihan pekerjaan dan pengarahan terhadap siswa mendapat pekerjaan dengan mudah dan cepat. Namun terlepas dari hal tersebut pemerintah juga di tuntut untuk mengimbanginya dengan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak, sehingga tidak terjadi peledakan pengangguran yang semakin banyak. Selain itu untuk menciptakan lapangan pekerjaan, modal merupakan hal yang terpenting, maka dari itu di Indonesia ini sebaiknya peminjaman modal di permudah sehingga para pencipta lapangan pekerjaan menjadi lebih mudah dan efisien.
Namun kenyataannya masih banyak lembaga pendidikan yang lebih berpihak kepada masyarakat kalangan menengah atas, dimana pendidikan yang bermutu dan pendidikan yang baik tidak bisa di emban oleh masyarakat kalangan bawah. Banyak pula lembaga pendidikan yang di jadikan sebagai lahan bisnis, sehingga untuk orang yang kurang mampu sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Selain itu di Indinesia juga masih banyak pengangguran yang tidak seimbang dengan sedikitnya lowongan pekerjaan.

E.     Pandangan Islam terhadap Human Capital
Islam sebagai sebuah jalan hidup, mengajarkan dan mengatur bagaimana menempatkan sumber daya manusia pada sebuah syirkah (perusahaan). Islam sangat peduli terhadap hukum perlindungan hak-hak dan kewajiban mutualistik antara pekerja dengan yang mempekerjakan.
Etika kerja dalam Islam mengharuskan, bahwa gaji dan bayaran serta spesifikasi dari sebuah pekerjaan yang akan dikerjakan harus jelas dan telah disetujui pada saat adanya kesepakatan awal, dan pembayaran telah dilakukan pada saat pekerjaan itu telah selesai tanpa ada sedikitpun penundaan dan pengurangan. Para pekerja juga mempunyai kewajiban untuk mengerjakan pekerjaannya secara benar, effektif,  dan effisien.
Al-Quran mengakui adanya perbedaan upah diantara pekerja atas dasar kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan sebagaiman yang dikemukakan dalam surah al-Ahqaaf ayat 19, surah al-Najm ayat 39-41. Sungguh sangat menarik apa yang ada dalam Al Quran yang tidak membedakan perempuan dengan laki-laki dalam tataran dan posisi yang sama untuk masalah kerja dan upah yang mereka terima, sebagaimana yang terungkap dalam Surah Ali' Imran ayat 195.
Islam juga menganjurkan, untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaan tanpa ada penyelewelengan dan kelalaian, dan bekerja secara efisien dan penuh kompentensi. Ketekunan dan ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang mempunyai nilai terhormat. Suatu pekerjaan kecil yang dilakukan secara konstan dan professional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak professional.
Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullulah yang berbunyi "Sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan penuh ketekunan walaupun sedikit demi sedikit." (H.R. Tirmidzi). Kompentensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja unggulan sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah Al Qashash ayat 26.
Standar Al-Quran untuk kepatutan sebuah pekerjaan adalah berdasarkan pada keahlian dan kompetensi seseorang dalam bidangnya. Ini merupakan hal penting, karena tanpa adanya kompentensi dan kejujuran, maka bisa dipastikan tidak akan lahir efisiensi dari seseorang. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi manajemen sebuah organisasi (perusahaan) untuk menempatkan seseorang sesuai dengan kompetensinya.
Berdasarkan ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu modal bukan sebagai pembawa kerugian. Dengan demikian, penanganan sumber daya manusia sebagai human capital, bukanlah sesuatu yang baru dalam aktivitas ekonomi Islami.
Hatta Rajasa mengatakan, "human capital" atau faktor manusia harus ditingkatkan untuk memajukan peradaban Islam. Human capital adalah salah satu kunci untuk memajukan suatu peradaban, termasuk peradaban Islam. Hatta Rajasa menuturkan, majunya peradaban Islam di masa lampau antara lain karena keberhasilan umat Islam dalam mengintegrasikan secara harmonis antara ilmu pengetahuan rasionalitas-analitis dan ilmu yang bersifat spiritual-moralis.
Selama ratusan tahun peradaban Islam, ujar dia, para ilmuwan muslim juga mampu membuka berbagai cabang bidang ilmu tidak hanya ilmu ketauhidan, tetapi juga ilmu lainnya seperti aljabar dan ilmu kedokteran yang sifatnya ilmiah. Selain itu, lanjutnya, peradaban Islam yang berjaya pada abad pertengahan adalah peradaban yang pertama kali melakukan proses internasionalisasi ilmu pengetahuan yang membuka pula ke arah globalisasi awal. Islam juga yang memperkenalkan berbagai konsep yang berpengaruh pada masa selanjutnya seperti sistem pemerintahan yang baik yang terdapat dalam Piagam Madinah dalam masa Rasulullah SAW. Kemunduran perbedaan Islam disebabkan oleh perpecahan dan rusaknya Sumber Daya Manusia (SDM) baik secara intelektual maupun moral.
Umat Islam di Indonesia juga tertinggal dalam hal inovasi yang merupakan salah satu hal yang dapat mencerminkan daya tahan suatu bangsa dalam menghadapi beragam tantangan di era globalisasi kini. Untuk itu, memajukan peradaban Islam dapat dimulai dengan memajukan pendidikan dan meneruskan kembali tradisi kelimuan yang pernah ada di dunia Islam agar dapat menciptakan manusia yang berkarakter akhlak mulia dan berpikir cerdas, inovatif, kreatif, dan responsif. Sementara itu apakah Islam merupakan faktor penting dalam masa depan Indonesia? Sekarang, Islam mungkin masih belum menjadi faktor determinan di Indonesia, yaitu sebagai kekuatan efektif dalam menentukan masa depan Indonesia dan sebagai pemecah masalah. Untuk mengatasi masalah tersebut, umat Islam harus memiliki strategi kebudayaan atau strategi peradaban yang lebih menampilkan Islam sebagai agama perdamaian dan agama pembawa keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar